HUKUM BERBURUK SANGKA DAN MENCARI-CARI KESALAHAN
Oleh
Syaikh Abdul Muhsin Bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr
Allah Ta’ala berfirman.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah
kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan
berprasangka adalah dosa dan janganlah kamu mencari-car kesalahan orang
lain” [Al-Hujurat : 12]
Dalam ayat ini terkandung perintah untuk
menjauhi kebanyakan berprasangka, karena sebagian tindakan berprasangka
ada yang merupakan perbuatan dosa. Dalam ayat ini juga terdapat larangan
berbuat tajassus. Tajassus ialah mencari-cari kesalahan-kesalahan atau
kejelekan-kejelekan orang lain, yang biasanya merupakan efek dari
prasangka yang buruk.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
إِيَّا كُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ
أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ وَلاَ تَحَسَّسُوا وَلاَ تَجَسَّسُوا وَلاَ
تَحَاسَدُوا وَلاَتَدَابَرُوا وَلاَتَبَاغَضُوا وَكُوْنُواعِبَادَاللَّهِ
إحْوَانًا
“Berhati-hatilah kalian dari tindakan
berprasangka buruk, karena prasangka buruk adalah sedusta-dusta ucapan.
Janganlah kalian saling mencari berita kejelekan orang lain, saling
memata-matai, saling mendengki, saling membelakangi, dan saling
membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara” [1]
Amirul Mukminin Umar bin Khathab berkata,
“Janganlah engkau berprasangka terhadap perkataan yang keluar dari
saudaramu yang mukmin kecuali dengan persangkaan yang baik. Dan
hendaknya engkau selalu membawa perkataannya itu kepada
prasangka-prasangka yang baik”
Ibnu Katsir menyebutkan perkataan Umar di atas ketika menafsirkan sebuah ayat dalam surat Al-Hujurat.
Bakar bin Abdullah Al-Muzani yang biografinya
bisa kita dapatkan dalam kitab Tahdzib At-Tahdzib berkata :
“Hati-hatilah kalian terhadap perkataan yang sekalipun benar kalian
tidak diberi pahala, namun apabila kalian salah kalian berdosa.
Perkataan tersebut adalah berprasangka buruk terhadap saudaramu”.
Disebutkan dalam kitab Al-Hilyah karya Abu
Nu’aim (II/285) bahwa Abu Qilabah Abdullah bin Yazid Al-Jurmi berkata :
“Apabila ada berita tentang tindakan saudaramu yang tidak kamu sukai,
maka berusaha keraslah mancarikan alasan untuknya. Apabila kamu tidak
mendapatkan alasan untuknya, maka katakanlah kepada dirimu sendiri,
“Saya kira saudaraku itu mempunyai alasan yang tepat sehingga melakukan
perbuatan tersebut”.
Sufyan bin Husain berkata, “Aku pernah
menyebutkan kejelekan seseorang di hadapan Iyas bin Mu’awiyyah.
Beliaupun memandangi wajahku seraya berkata, “Apakah kamu pernah ikut
memerangi bangsa Romawi?” Aku menjawab, “Tidak”. Beliau bertanya lagi,
“Kalau memerangi bangsa Sind [2], Hind (India) atau Turki?” Aku juga
menjawab, “Tidak”. Beliau berkata, “Apakah layak, bangsa Romawi, Sind,
Hind dan Turki selamat dari kejelekanmu sementara saudaramu yang muslim
tidak selamat dari kejelekanmu?” Setelah kejadian itu, aku tidak pernah
mengulangi lagi berbuat seperti itu” [3]
Komentar saya : “Alangkah baiknya jawaban dari
Iyas bin Mu’awiyah yang terkenal cerdas itu. Dan jawaban di atas salah
satu contoh dari kecerdasan beliau”.
Abu Hatim bin Hibban Al-Busti bekata dalam
kitab Raudhah Al-‘Uqala (hal.131), ”Orang yang berakal wajib mencari
keselamatan untuk dirinya dengan meninggalkan perbuatan tajassus dan
senantiasa sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri. Sesungguhnya
orang yang sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri dan melupakan
kejelekan orang lain, maka hatinya akan tenteram dan tidak akan merasa
capai. Setiap kali dia melihat kejelekan yang ada pada dirinya, maka dia
akan merasa hina tatkala melihat kejelekan yang serupa ada pada
saudaranya. Sementara orang yang senantiasa sibuk memperhatikan
kejelekan orang lain dan melupakan kejelekannya sendiri, maka hatinya
akan buta, badannya akan merasa letih dan akan sulit baginya
meninggalkan kejelekan dirinya”.
Beliau juga berkata pad hal.133, “Tajassus
adalah cabang dari kemunafikan, sebagaimana sebaliknya prasangka yang
baik merupakan cabang dari keimanan. Orang yang berakal akan
berprasangka baik kepada saudaranya, dan tidak mau membuatnya sedih dan
berduka. Sedangkan orang yang bodoh akan selalu berprasangka buruk
kepada saudaranya dan tidak segan-segan berbuat jahat dan membuatnya
menderita”.
[Disalin dari buku Rifqon Ahlassunnah bi
Ahlissunnah Penulis Abdul Muhsin bin Hamd Al Abbad Al Badr, Edisi
Indonesia Rifqon Ahlassunnah bi Ahlissunnah Menyikapi Fenomena Tahdzir
dan Hajr, Penerbit : Titian Hidayah Ilahi Bandung, Cetakan Pertama
Januari 2004]
_______
_______
Tidak ada komentar:
Posting Komentar